Kamis, 18 Desember 2008

pohon besar

kamis,18,12,2008

Akulah yang paling kuat di sini,” kata Sebatang pohon bicara sambil memamerkan batangnya yang besar di suatu pagi yang cerah. Ia selalu bicara tentang kehebatan-kehebatannya setiap hari. Seolah banyak yang mendengarkan. Padahal ia hanya mempunyai satu tetangga di padang yang kering itu. Tetangganya adalah serumpun ilalang yang kurus.
Pohon itu memang tampak kuat. Badannya besar, selebar pelukan dua orang anak. Lurus dan tinggi menjulang ke angkasa. “Aku juga paling tinggi. Tak ada yang bisa melihat pemandangan yang jauh sepertiku.”
“Tahukah kamu, aku bisa melihat tepian laut dan gunung.” Sang pohon membual. Padang itu sangat jauh dari pantai, dan satu gunung pun tak tampak. Pulau tempat padang itu berada, bentuknya datar saja.
“Hei, anak kecil,” Ia menegur rumpun ilalang kurus yang sejak tadi bersikap seolah tak mendengar perkataan sang pohon. Ilalang itu hampir bosan mendengar kesombongan pohon yang selalu diucapkan setiap hari. Tapi sang pohon bersikap seolah ia belum pernah menceritakan hal itu sekali pun.
Ilalang kurus mendongak.
“Mengapa kamu tidak menanamkan akarmu jauh ke dalam tanah? Dan seharusnya kamu meninggikan pucukmu hingga menjulang ke udara. Seperti aku!”
Ilalang itu tersenyum. “Aku senang dengan tubuhku seperti ini,” Jawabnya dengan tenang.
“Memang, aku tidak akan menjadi kokoh sepertimu. Tapi, kurasa aku merasa sangat aman.”
“Apa katamu? Aman?” Sang pohon tersenyum mengejek. “Kau pikir, siapa yang bisa mencabutku atau menghempaskan tubuhku ke tanah?”
Ilalang kemudian memilih diam. Ia malas mendebat. Ia terbiasa dengan kesombongan sang pohon.
Menjelang siang, angin bertiup sepoi-sepoi. Rasanya sejuk. Sebelum sampai ke padang, angin telah melewati lautan dan danau-danau. Uap air dari lautan dan danau, juga dari pucuk-pucuk rumput dan dedaunan ikut terbang bersama angin. Tak lama kemudian, angin terasa bertiup lebih deras.
“Wah sebentar lagi kita akan beterbangan.” Sebutir daun kering di tanah bicara kepada kerikil dan pasir.
“Kira-kira kita akan terbang dan pindah ke mana, ya?” tanya sebutir pasir.
“Bagiku semua tempat, sama indahnya.” Kata sebutir debu yang menempel di atas daun kering.
Beberapa saat kemudian itu terjadi.
“Whiuuu! Kita mulai terbang!” Debu itu bersorak. “Barangkali di antara kita semua disini, aku yang akan terbang paling jauh.”
“Ya, biasanya memang begitu,” Jawab kerikil.
Debu, pasir, kerikil dan daun kering memang selalu siap jika angin besar datang.
Tak lama kemudian hal yang mereka bicarakan terjadi. Angin juga mendorong awan-awan berkumpul.
“Haha, menyenangkan sekali.” Sang pohon terlihat gembira. “Hei, ilalang kurus, lihat betapa indahnya daun-daunku saat ditiupi angin!”
Pohon itu terlihat seperti sedang menari bersama angin.
“Suatu hari nanti, aku akan semakin tinggi. Di atas sana pasti anginnya lebih deras. Tentu, lebih menyenangkan.”
“Hmmm, Sepertinya akan ada badai.” Kata ilalang dengan pelan. Ia mengetahui itu dari perubahan-perubahan angin dan awan. “Semoga saja bukan badai besar...”
“Biar saja badai besar! Kau pikir aku takut?” Tukas sang pohon.
“Hai pohon, kita tidak boleh sombong.” Setelah mengatakan itu, ilalang berdoa supaya badai tidak terjadi.
Tapi badai tetap terjadi. Awan-awan berkumpul di langit. Tebal sekali, berwarna hitam menutupi matahari. Angin bersiut sangat deras. Suaranya betul-betul menakutkan. Apalagi hujan telah turun sangat deras disertai kilatan-kilatan petir. Petir-petir itu menyambar-nyambar ke tanah. Suasana tambah mencekam dengan munculnya suara-suara guruh.
Pohon besar masih tertawa girang bermain bersama angin yang luar biasa riuh. “Ayo, tunjukkan padaku seberapa hebat kekuatan badai itu?”
Ilalang kurus di bawahnya sudah tampak kepayahan bergoyang-goyang diterjang angin. Terakhir angin memelintir rumpunnya. Ilalang itu patah. Daunnya rebah menyenggol tanah. Ia kesakitan. Tapi ia bersukur, angin justru tidak lagi terasa kencang setelah ia rebah.
“Wah, Kurus! Ternyata kekuatanmu hanya sebegitu. Kamu lemah sekali.” Sang pohon menengok ke bawah, dimana ilalang kurus terbaring menahan rasa sakit. Ia tidak menyadari sebuah angin bergulung, angin topan, datang dari kejauhan.
“Hahaha, kamu percaya apa yang kukatakan tadi pagi, kan?! Akarku menembus tanah jauh ke dalam dan mencengkeram banyak batuan di dalamnya. Tubuhku juga besar, tidak mungkin patah oleh angin.”
Ilalang kecil tidak menjawab, kecuali meminta sang pohon untuk waspada.
“Haha, tak ada yang sanggup mencabutku dari tanah atau menghempaskan tubuhku ke tanah?”
Tapi kemudian ia menyesali ucapannya. Angin topan yang berbentuk seperti kerucut sudah di depannya. Angin itu demikian kuat. Mula-mula dipelintirnya batang pohon. Lalu mengangkati tanah di dekat akar. Sang pohon besar sempat bertahan untuk beberapa lama. Tapi ia kehabisan tenaga. Akar-akarnya tak kuat lagi mencengkeram di tanah.
“Kraaak!” Sebuah dahan sang pohon patah. Lalu, “Aaagh!” Pohon berteriak kesakitan ketika angin berhasil mencabutnya dari tanah. Bongkahan tanah berjatuhan dari akarnya yang sudah lemah. Oleh angin, pohon yang selalu menyombongkan kehebatannya itu diputar-putarkan di udara .
Pohon itu terlempar ke tanah, persis di tempat pernah tumbuh. Lalu, badai berangsur-angsur reda.
Seminggu kemudian, dari sela-sela rumpun ilalang yang patah pucuk-pucuk daun baru tumbuh. Beberapa minggu kemudian, ilalang itu telah berdiri tegak. Seolah badai tidak pernah membuatnya rebah.
Pohon besar yang terbaring menatap sedih. Sekarang ia menyesali kesombongannya dahulu.

tamat

Tidak ada komentar: